Membaca dan menulis bukan kesibukan yang
melibatkan bahasa semata, tetapi juga pemahaman. Di sini pembaca dan
penulis sama-sama dituntut sadar akan apa yang mesti dibaca dan ditulis,
apa yang harus dicermati sekilas atau berulang-ulang pada hamparan
teks, dari sekelumit situasi yang telah, sedang, atau akan berlangsung.
Maka,
teks yang sehat tidak hanya lahir dari ide, tetapi juga bersumber dari
sikap penulis. Pembaca pun demikian. Tanpa itu, pembaca hanya
menghabiskan waktu senggang untuk memamah huruf-huruf mati sebagai
kegiatan konsumtif yang sia-sia. Ia tidak memproduksi apa-apa, nalar dan
nalurinya tak berfungsi, dan kesadarannya sebagai makhluk berpikir
tidak bekerja. Selamanya, ia hanya akan menjadi objek yang jadi korban
setiapkali berhadapan dengan teks maupun peristiwa, bukan sebagai subjek
yang punya sudut pandang ajeg.

Sebuah kredo: penulis yang baik adalah pembaca yang baik.
Setidaknya dari gagasan itu, beberapa
pemuda dan santri di kampung Sukawangi, Desa Sukawangi, Kecamatan
Singajaya, Garut Kidul telah beberapa tahun meretas jalan yang sadar
untuk sama-sama melatih daya kreatif guna menghimpun optimisme
generasinya, yang di kemudian hari diharapkan dapat menjadi faktor
pendukung kemapanan lingkungan sekitar, menghantar generasi berikutnya
ke arah yang lebih cerah.
Bermodal kesadaran dan ide tersebut,
sejak tiga tahun lalu Nero Taopik Abdillah dan kawan-kawan, mereka yang
kemudian menamai diri “Komunitas Ngéjah” mulai mengumpulkan bahan-bahan,
artikel-artikel, buku-buku, puisi, video dokumenter, film, musik,
relasi yang punya kesamaan misi dan visi, serta menyusun cita-cita yang
tak sederhana.
Sesuai arti dari diksi ngéjah (bahasa Sunda), bila dalam bahasa Indonesia eja atau mengeja, mereka berjalan perlahan-lahan dan sabar. Ada kalanya mesti tertatih-tatih lantaran habis nafas.
Pada masa kecemasan seperti itu, doa-doa
yang dipanjatkan santri dan pemuda selalu terkabul, tutur salah seorang
pegiatnya, Ruli Lesmana. Beberapa aktifis atau kelompok-kelompok
kesenian dan jurnalistik dari beberapa kota, terutama dari Tasikmalaya,
Ciamis, Garut dan Bandung datang berkunjung. Bukan hanya menyumbang
nafas, dan tentu saja bukan untuk ber-rekreasi, lebih-lebih nongkrong
santai di perkebunan teh, menghirup udara perkampungan yang mulai
berbaur dengan parfum kota yang aneh, bukan untuk ngaliwet atau makan-makan. Mereka yang datang bersilaturahmi senantiasa memberi harapan, memantik gagasan yang nyaris padam.
Penduduk sekitar pun maklum akan situasi
dan kegelisahan mereka yang bergiat di Komunitas Ngéjah. Guru, Ulama,
Ojek, Petani, Pedagang, untuk tak menyebut beberapa profesi, sama-sama
memberi dukungan yang tidak cuma alakadarnya.
Setiap tahun, sejak tahun pertama, mereka
tidak pernah kehabisan materi, motivasi, tenaga, serta ide kreatif
untuk menyelenggarakan kegiatan, dari yang sederhana hingga yang
monumental. Produktifitasnya tidak hanya melahirkan teks-teks yang
mereka pajang di Majalah Dinding atau berkesempatan muncul di media,
film dokumenter yang mencoba mendokumentasikan hidup, tetapi juga
melahirkan peristiwa demi peristiwa yang menarik untuk disimak.
Pada tanggal 10-12 Oktober 2013, pegiat
Komunitas Ngejah mendapat tempat yang istimewa dan diapresiasi secara
khusus oleh pemateri-pemateri Festival Taman Bacaan Masyarakat Nasional
di ibu kota, Jakarta. Selain berkesempatan untuk bertukarpikiran dan
pengalaman dengan pegiat dari komunitas atau taman baca lainnya
se-Indonesia, mereka pun membaca dan menulis ulang gagasannya sendiri,
yang tak sederhana.
Deri Hudaya, pegiat sastra di Majelis
Sastra Bandung. Tulisannya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Tribun
Jabar, Galamedia, Jurnal Sajak, Sastra Digital, Manglé, Cupumanik,
Galura, dll.
di muat di HU. Radar Tasikmalaya edisi Minggu 27 Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar